![]() |
Gudeg Mbah Waginah. ©2020 brilio.net |
KoranElektronik.com - Minggu (12/7), Mbah Lindu, penjual gudeg legendaris di Jogja tutup usia. Kepergiannya menyisakan duka mendalam bagi warga Jogja, mengingat gudeg buatannya telah mengiringi kehidupan di kota itu selama hampir 90 tahun.
Selain Mbah Lindu, ada satu sosok lagi yang telah berjualan gudeg sekian tahun lamanya di Yogyakarta. Dialah Mbah Waginah, nenek berusia 95 tahun yang berjualan gudeg di Jalan Kabupaten, Km 1,5 Yogyakarta.
Meskipun dijual di warung makan yang sederhana, Gudeg Mbah Waginah adalah salah satu warung gudeg legendaris di Jogja. Berikut kisah perjalanan hidup Mbah Waginah yang masih aktif berjualan hingga kini:
Masa kecil Mbah Waginah dilalui dengan tinggal bersama neneknya. Pada suatu hari, dia diajak neneknya jualan roti di pasar. Saat itu dia melihat dia melihat para tentara Jepang disiksa tentara Belanda di tengah jalan.
Sambil menangis, Mbah Waginah kecil minta diajak pulang oleh neneknya. Tapi hal itu tidak menjadikannya trauma ikut neneknya lagi ke pasar keesokan harinya.
Waktu kecil, Mbah Waginah sudah ditinggal kedua orang tuanya. Dia bercerita ayahnya ikut dipekerjakan Jepang sebagai Romusha. Sementara ibunya meninggal dunia waktu dia kecil.
Suatu hari ibunya pulang dari pasar lebih cepat dari biasanya. Mbah Waginah bertanya kepada ibunya kenapa pulang cepat. Ibunya bilang kalau dia lagi pusing. Tapi sore harinya, sang ibu meninggal dunia.
Di usianya yang sudah 95 tahun, Mbah Waginah masih semangat berjualan gudeg di warungnya. Dia berjualan gudeg mulai dari pukul 06.00 sampai pukul 10.00 WIB. Beberapa waktu belakangan, ada seseorang yang membantunya dalam berjualan.
Walaupun ada yang membantu, Mbah Waginah tetap meracik masakan gudegnya sendiri. Resep gudeg-nya itu telah ia pertahankan selama 45 tahun lamanya. Untuk urusan belanja, Mbah Waginah dibantu seorang anaknya yang tinggal tak jauh dari rumahnya.
Selain itu para penjual bahan mentah seperti ayam dan krecek juga sudah terbiasa mengantar dagangannya untuk Mbah Waginah.
Sekian tahun lamanya berjualan gudeg, Mbah Waginah telah merasakan jatuh bangun berkali-kali. Walaupun termasuk legendaris, namun warungnya tak selalu ramai pembeli. Kadang gudegnya hanya laku 3-4 porsi dalam sehari.
Kalau sedang ramai, dia bisa mencuci piringnya yang hanya berjumlah 7-8 piring itu sampai berkali-kali. Padahal kalau sepi, dia tak punya modal untuk berjualan keesokan harinya.
“Kalau pas ramai pembeli, piring saya yang cuma 7-8 piring itu bisa beberapa kali dicuci pakai. Tapi ini sudah seminggu sepi. Tidak ada orang yang makan di tempat,” ujar Mbah Waginah dikutip Merdeka.com dari Brilio.net pada Rabu (15/7).
Makin banyaknya penjual gudeg di setiap sudut Yogyakarta diakui Mbah Waginah berpengaruh kepada jualannya. Jika dulunya dia sanggup menghabiskan seluruh jualannya dalam waktu tiga jam, namun seiring waktu hal itu sudah cukup jarang dialami Mbah Waginah.
“Dulu waktu belum banyak saingan jam 9 sudah pulang. Gudeg satu panci, telur satu panci, ayam satu panci, bubur satu panci, dan nasi sudah habis. Tapi kalau sekarang jam segini baru laku setengah,” kata Mbah Waginah.
Salah satu alasan Mbah Waginah tetap berjualan di usianya yang tua adalah dia tidak terbiasa untuk berdiam diri di rumah tanpa kegiatan. Tak hanya menjadi sumber penghasilan, tapi dengan berjualan gudeg bisa mengisi hari-harinya dengan kegiatan yang produktif.
“Saya nggak betah di rumah Cuma duduk-duduk aja. Bosan. Saya lebih suka di warung, paling tidak bisa lihat kendaraan lalu Lalang,” ungkap Mbah Waginah.
Karena rasanya yang gurih, Gudeg Mbah Waginah menjadi alternatif wisatawan yang tidak menyukai gudeg yang manis. Cukup dengan Rp8.000, pengunjung sudah bisa menikmati sepiring bubur gudeg dari kuah aren, dari kuah sayur kacang tolo, serta lauk telur yang empuk dan lembut.
Selain itu, Mbah Waginah juga menyediakan lauk ayam kampung yang hanya dibanderol Rp12.000- Rp15.000.